Menanggapi
undangan interview, kaki ini melangkah menaiki shelter trans Jogja dan
menanti bus di sana. Bermodal ancer-ancer dari Uchi, ku coba melangkah
menuju Wirobrajan. Dahulu ku bertanya tiap kali menaiki trans Jogja
jalur 2B menuju Gereja Kidul Loji, sampai dimanakah trayek jurusan ini?
Namun, kini ku tahu sendiri….ternyata hanya memutar arah melewati SMAN 1
Wirobrajan (jadi teringat perjuangan bagaimana upayaku tuk bisa pulang
dari Westprog menuju Mrican dulu, sebuah perjuangan yang melahirkan
tragedi).
Setibanya
di shelter Wirobrajan, aku pun menepi, berjalan ke arah selatan menuju
ke barat on foot. Sempat ragu waktu itu. Walhasil, aku bertanya pada
bapak paruh baya yang duduk di warung cilik (mirip angkringan). Bapak
itu bilang benar jalannya, ke barat dulu terus ke selatan. Sempat
menawarkan jasa ojek juga itu Bapak, tapi entah kenapa…saya menolaknya
dengan halus, berterima kasih dan pamit pergi. Melangkahlah kakiku
menuju barat. Jalan lumayan jauh dan tak bertemu-temu plang yang
menandakan IKIP PGRI, aku memilih tuk bertanya pada seorang Ibu berumur
sekitar 60 tahun. Ibu itu ramah sekali, ia menjawab pertanyaanku dengan
sabar dan lembut hati…sempat menyentuh dan mengusap bahuku lagi. Melihat
mata dan hati ibu yang mulia itu, dengan sepenuh hati aku mengucapkan
terima kasih dalam bahasa Jawa Krama lalu melanjutkan perjalananku.
Banyak
hal yang ku amati. Serasa mengulang masa lalu tatkala aku buta jalan
dan arah pulang dari mengantar obat si Mbah di Westprog, serasa
mengulang masa lalu tatkala aku mengantarkan Mbak Shanti pulang menuju
Ciamis yang ternyata kita salah jalan karena bus gede gak lewat situ,
serasa mengulang masa lalu tatkala aku, Nana, Odha, Mas We datang
melayat bibinya Bertha ke PUKJ. Semua bak snapshot-snapshot yang
berputar secara bergantian menemani langkahku. Karena aku berjalan di
sisi kiri jika dari timur, mataku dihiasi pemandangan buruh-buruh beras.
Baru tahu aku kalau di sana banyak gudang beras. Ada juga sepeda-sepeda
loak yang dijejer, dipajang dan dijual sepanjang jalan. Dengan berjalan
kaki inilah ingatanku tentang lokasi Hellen Keller kembali. Ternyata ia
tak terletak di PU Yogya tapi Wirobrajan. Sekalipun banyak becak yang
lalu lalang ketika ku berjalan, hati dan logika ini kompak untuk jalan
kaki, hemat biaya mengingat ibu dan adik yang berjuang untukku di
seberang sana.
Tatkala
aku melihat plang PUKJ dengan panah menuju ke selatan, hati dan otak
memerintahkan kakiku bersiap tuk belok ke kanan. Penasaran kenapa hati
dan otakku berkata demikian, mataku sibuk mencari apa benar ini jalan
menuju IKIP PGRI. Ternyata tak ada yang menandakan IKIP PGRI menuju ke
selatan, tapi jalannya tertulis benar Jl. IKIP PGRI. Dengan penuh PeDe
dan tanda tanya yang kadarnya sama-sama fifty fifty, ku lanjutkan
perjalanan menuju ke selatan. Gereja sudah kulewati, PUKJ juga sudah,
bangunan gede yang berplang mirip DAGADU juga sudah. Di kejauhan
kira-kira 10 meter, terlihat banyak pekerja dan buruh, ada yang
menggunakan mobil dorong kecil seperti di Lottemart juga dan semuanya
adalah pria…jeng-jeng. Aku agak takut waktu itu, tapi ku bawa santai dan
benar ternyata, mereka tak mengganggu, cuma suit2 layaknya kebiasaan
pria melihat seorang perempuan jalan sendirian, aku pun berlalu. Karena
desakan otakku yang bertanya mereka ini buruh dan pekerja apa, mataku
pun melirik ke kiri dan ku lihat di sana banyak tumpukan keramik-keramik
yang siap dipasarkan. “Ternyata di sini ta gudangnya”, otakku
menyimpulkan. Jauhhh aku berjalan, akhirnya ketemu juga tu ma IKIP PGRI.
Masalahnya…ane indak melihat jalan menuju ke selatan di
sana..jeng-jeng… “Ini aku salah jalan indak ta?”, protes otakku waktu
itu. Ku amati sekelilingku, indak ada orang yang bisa ku tanya.
Walhasil, aku menyebrang ke barat dan berharap mbak yang sedang parkir
dan sms tahu jawaban pertanyaan yang bakal ku tanya. Melihat dirinya
yang lagi sibuk, aku urung bertanya dan berganti target yakni bapak
becak yang lagi duduk santai. Bapak itu pun memberitahu di mana Soboman
dan memintaku untuk ke jalan kecil menuju selatan. Aku pun mengucapkan
terima kasih dan bergegas menuju ke sana. Kata hatiku mata bapak itu
berkata jujur. Berjalanlah aku menuju ke selatan, mendapati dua pohon
randu besar di sisi kiri, berjalan lurus dan lurus sampai tiba di
perempatan dan aku kebingungan. Karena keadaan perutku yang lapar.
Alhasil, berhentilah aku memesan semangkuk mie ayam. Sambil menikmati
mie ayam, pikiranku jauh melambung tinggi seolah marah dan ingin
berteriak “Mau berkembang aja susahnya, Tuhan..Tuhan”. Kemudian, di
warung mie ayam itulah aku mendapatkan sedikit clue untuk sampai tujuan.
Berdasarkan pembeli mie ayam lainnya, Perum Kuantan Soboman (petunjuk
sms dari panitia ART JOGJA yang belakangan aku tahu ternyata itu sms
dari Manager Expo) itu tidak begitu jauh dari warung mie ayam. Aku pun
berbalik arah dan memutar jalan, mencoba mengamati seksama jalan yang ku
lewati tadi. Ku dapati mas yang sedang duduk di atas motor gede dengan
tampang behhh kacamata reben badan gede…bak polisi tahanan…tapi ternyata
hatinya baik euyyy…indak segan-segan kasih informasi cuma-cuma. Karena
masnya bukan asli orang daerah situ, dia pun menyarankanku bertanya pada
ibu pemilik warung di seberang kami. Ku coba menuruti sarannya dan
ternyata kantor ART JOGJA Soboman itu sebelahnya (jadi teringat
penglihatan pertama tadi waktu melewati jalan ini…bangunan ini memang
membuat curiosityku naik). Mas kacamata reben sempat bertanya padaku
seolah-olah dia juga ingin tahu di mana kantor Soboman ART JOGJA.
Setelah ku beritahu kantor tersebut berada tepat di sebelah warung, dia
hanya bilang “oalah….” sambil tersenyum. Tanpa pikir panjang, bergegas
aku mengucapkan terima kasih tuk kesekian orang yang ku mintai informasi
dan beranjak pergi.
Hijaunya
rumput jepang dan indahnya tanaman hias di sana telak menghipnotis mata
dan jiwaku. Aku hanya berjalan sambil tersenyum waktu itu. Sesekali aku
melirik aktivitas di balik kaca untuk memastikan benar ini kantornya,
tapi aku gagal. Ada kayu-kayu putih yang menghalangi pandanganku. Hanya
satu mobil putih dan beberapa motor yang ku dapati di area taman.
Melihat gelagatku yang ragu, seorang laki-laki berkaos abu-abu tersenyum
padaku. Tak ingin ku lewatkan begitu saja hospitality laki-laki itu,
aku pun tak segan bertanya apakah ini benar kantor ART JOGJA. Lega itu
hadir begitu saja ketika laki-laki itu menjawab “Iya…mau interview ya?
Di lantai dua ya…” (kalo di komik-komik, ekspresi wajahku ga lagi
berkeringat kali ya..hee….) Dengan PeDenya aku memberanikan diri masuk
bangunan unik itu. Tampak beberapa karyawan sibuk dengan kerjaan mereka
masing-masing di meja kerja. Belakangan aku tahu ternyata kayu putih
yang menutupi pandanganku tadi maha karya seni. Sambil melemparkan
senyum ku coba menyapa mbak karyawan yang duduk paling ujung dan permisi
mau interview. Mbak itu pun mempersilakanku naik ke lantai 2. Kaki ini
melangkah menaiki tangga semen yang cat putihnya masih jelas baru dan
hatiku meloncat-loncat girang ketika menapakan kaki di lantai kayu.
Uihhhh…ini cool! (maklum ya…saya suka sekali dengan lantai kayu…itu
adem…tenang…artistik…hehee…). Ada sosok mbak cantik yang kemudian datang
melayani dan mempersilakanku mengisi buku tamu. Ia juga mempersilakanku
membaca katalog yang tersedia di meja. Sekitar 3-4 orang bekerja
seperti orang-orang di lantai 1, tampak juga sosok laki-laki berbaju
merah yang sedang diinterview. Kali ini otakku memilih membaca buku
katalog di meja bundar itu. Berteman kursi merah minimalis, aku membaca
secuil tentang seni, lukisan dan maha karya anak pribumi. Sesekali
pandanganku ku alihkan pada dinding dan ornamen-ornamen di sekelilingku.
Ada lukisan abstrak gede dengan titik hitam, putih dan abu-abu di sisi
kananku, ada jendela kaca berbingkai putih dengan anginnya yang semilir
memanjakanku, aku juga bisa melihat langit biru dari kaca itu, tepat di
belakangku, ada dapur kecil minimalis untuk memasak dan menyeduh
kopi/teh/kawanannya, lalu ku tengadahkan kepalaku, terlihat lampu neon
spiral bertudung merah yang tak bernyala. Aku hanya tersenyum kecil
ketika melihat benda-benda itu. Unik, cantik, simpel. Ku lirikan
pandanganku ke sisi kiri dan ternyata mbak yang menyambutku tadi
(belakangan aku tahu namanya Mbak Pipit) diam-diam mengamatiku. Mungkin
dia heran melihat tingkah polahku..heee… Begitulah aku ketika bertemu
dengan unsur-unsur seni, Mbak…hee…. Kemudian aku balas senyum dan
melanjutkan bacaanku. Banyak nama-nama seniman yang asing di telingaku
dalam buku itu. Namun ku coba pahami satu per satu sampai waktuku
dipanggil interview.
Ketika
interview, aku begitu tenang sekali menjawab tiap pertanyaan. Aku
begitu tenang ketika menghadapi pertanyaan ujian, bahkan ketika diminta
presentasi diri menggunakan bahasa Inggris. Aku bahkan berani berani
bertanya balik dan bercanda pada mas manager dan mbak Pipit itu. Serasa
aku tak sendiri, apalagi ketika melihat banyak unsur alam yang menemani.
Semuanya bisa ku jalani dan ku lewati. Aku hanya sedikit gagap ketika
harus simulasi If I were a guide for a collector. Behh…agak kikuk
dah…secara, aku indak tahu harga lukisan/karya. Rabu, 12 Juni
2013….terima kasih Tuhan untuk pengalaman ini….terima kasih aku boleh
mengenal seni….lelah jalan kaki dan lecet kakiku serasa terbayar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar