Duduk
deprok (istilah dalam bahasa Jawa, artinya duduk dengan enaknya)
seperti itu bukan hal yang baru bagiku, tapi lokasi yang di “jalanan”
itu yang mengujiku. To be honest, aku itu pemalu, pemikir, sedikit
gengsi, apalagi kalau harus duduk di jalanan seperti itu; perempatan
lampu merah lagi, oooo gosh, bak mimpi tapi ini nyata terjadi dan harus
ku lalui. Terbersit banyak asumsi di kepalaku. Gimana kalau ada
teman-temanku sedang berhenti di lampu merah? Gimana kalau ada yang
mengenalku? Secara, itu tempat gak jauh-jauh amat dari kampusku. Sagan
getohh…emmm…lumayan menguji mentalku. Tapi gengsiku perlahan-lahan
meleleh lalu mencair bak bongkahan es. Ketika aku melihat mereka yang
hidup keras di jalanan bisa asyik bercengkrama dengan buku-buku dari
donator yang selalu kami bawa, ketika senior-seniorku begitu akrab
dengan anak-anak jalanan itu, ketika mereka mampu berperilaku biasa saja
ketika mencium bau yang tak jarang berasal dari anak-anak itu. Mataku
terbelalak ketika melihat seorang anak kecil yang menjatuhkan makanan di
trotoar. Kemudian dengan polosnya, ia sigap mengambil dan
membersihkannya lalu memasukannya ke dalam mulut kecilnya. Ketika ia
tahu aku mengamatinya, hanya senyum yang ia lemparkan. Otakku beropini,
“Tidakkah makanan tadi terinfeksi kuman-kuman dan debu-debu jalanan?”,
tapi hati ini tak mau kalah bicara, “Ia lapar, tak ada lagi pilihan dan
tak perlu menggunakan logika…makan seperti itu sudah membuatnya
bahagia.” Lalu rasa sedih, miris dan empatiku berkolaborasi dan
bersinergi jadi satu membentuk rasa syukur yang teramat dalam untuk
Pencipta Semesta. Mulai hari itu, aku mulai terbiasa duduk deprok di
jalanan, mulai tak peduli berpuluh-puluh mata yang lalu lalang mewarnai
perempatan lampu merah, mulai tak peduli siapa saja yang melihatku di
sana, mulai tak peduli asumsi-asumsi pengguna jalanan, mulai tak peduli
pikiran-pikiran mata yang menerjang bak mengintimidasi dan
mendiskriminasi. Saat itu…aku terbiasa berbagi cerita, ilmu pengetahuan,
dan bahagia di jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar