Jumat, 27 September 2013

DI BALIK RINAI HUJAN DAN TERIK MENTARI

Tanggal 2 Juli 2007 aku perdana menginjakan kaki ke Yogyakarta. Tak ada sanak saudara yang kukenal kala itu selain teman SMAku; Stella Soehardi. Ia sosok teman yang setia, lucu dan riang. Kedekatan kami berhasil menerobos ranah perbedaan suku dan status sosial di antara kami, hingga bukan lagi suatu hal yang mengherankan jika masing-masing dari kami mempunyai panggilan kesayangan. Stella memanggilku Wichan dan aku memanggilnya Buntal. Panggilan kesayangan itu pun masih berlaku sampai sekarang.

Menuntut ilmu di kota orang dan jauh dari keluarga ternyata lumayan menguji nyali, apalagi masuk jurusan yang tak kukuasai dan kusenangi. Awalnya aku ingin sekali mempelajari dan menyelami seluk-beluk dunia psikologi, tapi karena Bapak takut tak mampu membiayaiku sampai menyandang gelar psikolog, alhasil masuklah aku ke fakultas Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma sedangkan temanku; Stella, di fakultas Sastra Bahasa Inggris.

Lalu petualangan pun dimulai. Hari pertama masuk kuliah, aku dikejutkan oleh teman-teman sekelilingku yang kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah ternama dan terbagus di Yogyakarta seperti SMA Van Lith, Stece, Stero, Pangudi Luhur dan De Brito. Mereka mampu berbicara cas cis cus (baca: fasih) Bahasa Inggris tatkala merespon pertanyaan dosen, sedangkan aku masih a e a e (baca: kelamaan mikir). Saat itu aku sadar bahwa pendidikan di Indonesia berbeda di tiap daerahnya. Sekalipun kurikulum yang dipakai sama namun metode pengajaran, tenaga pengajar dan kegiatan belajar-mengajarnya berbeda. Aku sempat kewalahan mengimbangi mata kuliah yang diberikan dosen waktu itu. Bagaimana tidak, hampir separuh lebih kelas menjawab “mengerti” tatkala dosenku bertanya untuk memastikan anak-anak didiknya mengerti atau tidak tiap materi yang telah ia ajarkan. Walhasil, sepulang kuliah aku harus mengingat kembali apa yang dosenku ajarkan, melihat kembali apa yang kucatat dan kupelajari di kampus, bahkan kerapkali aku bertanya kepada teman sekelas mengenai tugas rumah dari dosen—sekedar memastikan apakah pemahamanku atas instruksi-instruksi dosen benar. Begitulah hal-hal itu berulang dari hari ke hari sehingga lama-kelamaan membuatku terbiasa.

Keputusan untuk melanjutkan studi di Yogyakarta juga lumayan menguji mental dan intelegensi bersosialisasi. Perbedaan bahasa, tradisi, adat istiadat dan budaya yang begitu mencolok dengan masyarakat kampung halamanku; Bangka Belitung, juga membuatku  belajar mengenal dan memahami pola pikir dan psikologi masyarakat keturunan Jawa secara lebih dekat. Sekalipun tidak berhasil berkecimpung di fakultas psikologi, situasi dan kondisi ini mampu membuatku menyelami dunia psikologi. Aku menemukan masalah-masalah psikologi dan nilai-nilai kehidupan serta mempraktikannya secara langsung di kehidupan nyata. Suatu pengalaman kehidupan yang tak bisa dibeli dengan uang dan tak akan kudapatkan di bangku pendidikan.

Tak berhenti sampai di situ. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat situasi dan kondisi yang membawaku ke tempat yang tak kusukai ini sebagai suatu hikmah. Seperti yang orang-orang ketahui, kota Yogyakarta selain dikenal sebagai kota pelajar juga dikenal sebagai kota pariwisata. Landmark-landmark di kota ini selalu dipenuhi turis asing sekalipun bukan waktu liburan. Nah, di sinilah fakultas yang tak kusenangi berperan.
Tatkala hendak berkunjung ke museum, candi, keraton, Malioboro dan tempat-tempat wisata lain, tak jarang kudapati turis-turis asing berkeliaran. Ada yang berasal dari Australia, Amerika, Kanada, Perancis, Holland, bahkan Polandia. Beberapa dari mereka fasih berbahasa Indonesia, tapi banyak pula yang tidak. Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai modal berkomunikasi. Nah, masuk ke fakultas yang tak kusenangi mau tidak mau mengharuskanku untuk mengikuti dan mampu berbahasa Inggris. Awalnya memang tidak fasih, tapi karena selalu latihan lama-kelamaan lidah ini terbiasa mengucapkan bahasa orang Inggris. Walhasil, tatkala bertemu dengan turis asing, masalah komunikasi bukan lagi masalah yang kutakuti. Berbicara dengan mereka itu menantang dan melegakan sekali. Apalagi jika kita mampu menjelaskan budaya dan tradisi tanah air tiap kali rasa keingintahuan mereka muncul dalam rupa pertanyaan-pertanyaan. Jika pertanyaan mereka kritis, kita malah bisa mempelajari pola pikir orang asing dan belajar banyak dari pemikiran dan gagasan mereka. Bahkan mereka tak segan-segan untuk membagi pengetahuan dan menceritakan kondisi tanah air mereka. Apa itu bukan suatu hikmah namanya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampau? Maksud hati hanya ingin membantu, tapi malah diberi wawasan dan pengetahuan.

Aku mempunyai kisah unik yang akibatnya masih kurasakan sampai sekarang. Ketika itu aku hendak pulang ke kos menggunakan jasa transportasi Trans Jogja setelah membeli tas ransel di Malioboro. Dua orang penumpang turis asing ternyata ikut serta bersama rombongan bus kami. Mereka coba berkomunikasi dengan penumpang pribumi yang duduk di sebelahnya. Sayangnya penumpang tersebut tak mampu merespon perkataan turis-turis karena ia tak dapat berbicara bahasa Inggris. Walhasil, hanya senyuman yang ia lemparkan kepada kedua turis tersebut. Melihat kenyataan itu, aku pun jadi sasaran “korban” berikutnya karena tempat dudukku yang berhadapan dengan mereka. Kami bertiga pun larut dalam percakapan sehingga membuat kedua turis asing itu lupa untuk berhenti di shelter dan berganti jurusan bus Trans Jogja menuju Prambanan. Merasa bersalah karena keasyikan bercerita, aku pun memutuskan untuk turun dari bus dan putar arah menuju shelter yang berlawanan (shelter terdekat menuju Prambanan). Bermula dari itulah, aku diminta untuk jadi guide dan menemani mereka mengenal Prambanan. Kami juga sempat membahas pariwisata, pendidikan dan seni Indonesia. Di akhir cerita akhirnya aku tahu bahwa mereka adalah sepasang guru lukis yang sedang melakukan seminar di Bali dan waktu itu hendak berlibur sejenak mengunjungi Yogyakarta. Sekalipun turis yang pria seorang professor dengan lima degree, namun pakaian yang ia kenakan biasa saja bahkan tutur kata dan perawakannya penuh kerendahan hati. Hingga saat ini kami masih sering berkomunikasi dan berkirim salam lewat jejaring sosial. Kami saling memberi dukungan satu sama lain untuk meraih mimpi dan berbagi. Mereka bukan hanya teman tapi juga guru kehidupan yang luar biasa yang pernah ada dalam perjalanan hidupku. Lewat bahasa Inggrislah teman-temanku tak hanya berasal dari dalam negeri saja, tapi juga belahan bumi lainnya.

Hikmah masuk di bidang yang tak kusukai lainnya juga kusadari tatkala program sosial dan kemanusiaan dari Belanda yakni Togetthere bergabung bersama LSM yang saya selami. Kehadiranku sebagai relawan di LSM tersebut ternyata lumayan berguna. Bahagia sekali rasanya bisa jadi translator bagi turis asing--menerangkan kenyataan dan keadaan anak-anak jalanan di Yogyakarta serta menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Keberadaanku di fakultas yang tak kusenangi juga mendatangkan hikmah finansial yakni bertambahnya pemasukan. Mengingat bahasa Inggris adalah bahasa internasional dan hampir di setiap lingkup ilmu pengetahuan juga menggunakan bahasa Inggris, keadaan ini memberikan berkah tersendiri dalam hidupku. Beberapa mahasiswa yang hendak mengerjakan tugas atau menyusun skripsi terkadang meminta jasa terjemahan. Yaa..lumayanlah buat menambah uang saku..hee... Beberapa mahasiswa dan anak SMA juga sempat meminta tolong untuk diberikan les tambahan. Bahagia sekali jika mereka mampu memahami materi yang kuajarkan. Itu menambah kepercayaan diriku—memberikan sumbangsih tersendiri bagi psikologiku.

Sekian ceritaku, lika-liku perjalanan hidupku, semoga bermanfaat dan berguna bagi kalian semua yang membaca. Ketika suatu hal tak berjalan sesuai apa yang kau ingini, terima saja, nikmati saja, semua punya maksud dan tujuan tersendiri. Kita tak akan dibuat rugi olehnya jika ikhlas menerima dan pandai menyikapi. Bahkan dapat dijadikan batu loncatan dan melatih ketangguhan mental kita pribadi. Tatkala harus menjalani hal yang tak kita ingini, saat itu mungkin kita tidak mengerti kenapa begini kenapa begitu, tapi percayalah selalu kan ada senyum pelangi dibalik rinai hujan dan terik mentari. Hidup cuma satu kali ini, mari hadapi, berkarya, berbagi dan isi dengan hal-hal yang berarti. Cheers...^^

________dari wichan untuk "Waktu Gue Maba Competition" by studyinjogja.com______

Tidak ada komentar:

Posting Komentar