Tanggal
2 Juli 2007 aku perdana menginjakan kaki ke Yogyakarta. Tak ada sanak
saudara yang kukenal kala itu selain teman SMAku; Stella Soehardi. Ia
sosok teman yang setia, lucu dan riang. Kedekatan kami berhasil
menerobos ranah perbedaan suku dan status sosial di antara kami, hingga
bukan lagi suatu hal yang mengherankan jika masing-masing dari kami
mempunyai panggilan kesayangan. Stella memanggilku Wichan dan aku
memanggilnya Buntal. Panggilan kesayangan itu pun masih berlaku sampai
sekarang.
Menuntut
ilmu di kota orang dan jauh dari keluarga ternyata lumayan menguji
nyali, apalagi masuk jurusan yang tak kukuasai dan kusenangi. Awalnya
aku ingin sekali mempelajari dan menyelami seluk-beluk dunia psikologi,
tapi karena Bapak takut tak mampu membiayaiku sampai menyandang gelar
psikolog, alhasil masuklah aku ke fakultas Pendidikan Bahasa Inggris di
Universitas Sanata Dharma sedangkan temanku; Stella, di fakultas Sastra
Bahasa Inggris.
Lalu
petualangan pun dimulai. Hari pertama masuk kuliah, aku dikejutkan oleh
teman-teman sekelilingku yang kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah
ternama dan terbagus di Yogyakarta seperti SMA Van Lith, Stece, Stero,
Pangudi Luhur dan De Brito. Mereka mampu berbicara cas cis cus (baca:
fasih) Bahasa Inggris tatkala merespon pertanyaan dosen, sedangkan aku
masih a e a e (baca: kelamaan mikir). Saat itu aku sadar bahwa
pendidikan di Indonesia berbeda di tiap daerahnya. Sekalipun kurikulum
yang dipakai sama namun metode pengajaran, tenaga pengajar dan kegiatan
belajar-mengajarnya berbeda. Aku sempat kewalahan mengimbangi mata
kuliah yang diberikan dosen waktu itu. Bagaimana tidak, hampir separuh
lebih kelas menjawab “mengerti” tatkala dosenku bertanya untuk
memastikan anak-anak didiknya mengerti atau tidak tiap materi yang telah
ia ajarkan. Walhasil, sepulang kuliah aku harus mengingat kembali apa
yang dosenku ajarkan, melihat kembali apa yang kucatat dan kupelajari di
kampus, bahkan kerapkali aku bertanya kepada teman sekelas mengenai
tugas rumah dari dosen—sekedar memastikan apakah pemahamanku atas
instruksi-instruksi dosen benar. Begitulah hal-hal itu berulang dari
hari ke hari sehingga lama-kelamaan membuatku terbiasa.
Keputusan
untuk melanjutkan studi di Yogyakarta juga lumayan menguji mental dan
intelegensi bersosialisasi. Perbedaan bahasa, tradisi, adat istiadat dan
budaya yang begitu mencolok dengan masyarakat kampung halamanku; Bangka
Belitung, juga membuatku belajar mengenal dan memahami pola pikir dan
psikologi masyarakat keturunan Jawa secara lebih dekat. Sekalipun tidak
berhasil berkecimpung di fakultas psikologi, situasi dan kondisi ini
mampu membuatku menyelami dunia psikologi. Aku menemukan masalah-masalah
psikologi dan nilai-nilai kehidupan serta mempraktikannya secara
langsung di kehidupan nyata. Suatu pengalaman kehidupan yang tak bisa
dibeli dengan uang dan tak akan kudapatkan di bangku pendidikan.
Tak
berhenti sampai di situ. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat
situasi dan kondisi yang membawaku ke tempat yang tak kusukai ini
sebagai suatu hikmah. Seperti yang orang-orang ketahui, kota Yogyakarta
selain dikenal sebagai kota pelajar juga dikenal sebagai kota
pariwisata. Landmark-landmark di kota ini selalu dipenuhi turis asing sekalipun bukan waktu liburan. Nah, di sinilah fakultas yang tak kusenangi berperan.
Tatkala
hendak berkunjung ke museum, candi, keraton, Malioboro dan
tempat-tempat wisata lain, tak jarang kudapati turis-turis asing
berkeliaran. Ada yang berasal dari Australia, Amerika, Kanada, Perancis,
Holland, bahkan Polandia. Beberapa dari mereka fasih berbahasa
Indonesia, tapi banyak pula yang tidak. Kebanyakan dari mereka
menggunakan bahasa Inggris sebagai modal berkomunikasi. Nah, masuk ke
fakultas yang tak kusenangi mau tidak mau mengharuskanku untuk mengikuti
dan mampu berbahasa Inggris. Awalnya memang tidak fasih, tapi karena
selalu latihan lama-kelamaan lidah ini terbiasa mengucapkan bahasa orang
Inggris. Walhasil, tatkala bertemu dengan turis asing, masalah
komunikasi bukan lagi masalah yang kutakuti. Berbicara dengan mereka itu
menantang dan melegakan sekali. Apalagi jika kita mampu menjelaskan
budaya dan tradisi tanah air tiap kali rasa keingintahuan mereka muncul
dalam rupa pertanyaan-pertanyaan. Jika pertanyaan mereka kritis, kita
malah bisa mempelajari pola pikir orang asing dan belajar banyak dari
pemikiran dan gagasan mereka. Bahkan mereka tak segan-segan untuk
membagi pengetahuan dan menceritakan kondisi tanah air mereka. Apa itu
bukan suatu hikmah namanya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampau?
Maksud hati hanya ingin membantu, tapi malah diberi wawasan dan
pengetahuan.
Aku
mempunyai kisah unik yang akibatnya masih kurasakan sampai sekarang.
Ketika itu aku hendak pulang ke kos menggunakan jasa transportasi Trans
Jogja setelah membeli tas ransel di Malioboro. Dua orang penumpang turis
asing ternyata ikut serta bersama rombongan bus kami. Mereka coba
berkomunikasi dengan penumpang pribumi yang duduk di sebelahnya.
Sayangnya penumpang tersebut tak mampu merespon perkataan turis-turis
karena ia tak dapat berbicara bahasa Inggris. Walhasil, hanya senyuman
yang ia lemparkan kepada kedua turis tersebut. Melihat kenyataan itu,
aku pun jadi sasaran “korban” berikutnya karena tempat dudukku yang
berhadapan dengan mereka. Kami bertiga pun larut dalam percakapan
sehingga membuat kedua turis asing itu lupa untuk berhenti di shelter
dan berganti jurusan bus Trans Jogja menuju Prambanan. Merasa bersalah
karena keasyikan bercerita, aku pun memutuskan untuk turun dari bus dan
putar arah menuju shelter yang berlawanan (shelter terdekat menuju
Prambanan). Bermula dari itulah, aku diminta untuk jadi guide dan
menemani mereka mengenal Prambanan. Kami juga sempat membahas
pariwisata, pendidikan dan seni Indonesia. Di akhir cerita akhirnya aku
tahu bahwa mereka adalah sepasang guru lukis yang sedang melakukan
seminar di Bali dan waktu itu hendak berlibur sejenak mengunjungi
Yogyakarta. Sekalipun turis yang pria seorang professor dengan lima degree,
namun pakaian yang ia kenakan biasa saja bahkan tutur kata dan
perawakannya penuh kerendahan hati. Hingga saat ini kami masih sering
berkomunikasi dan berkirim salam lewat jejaring sosial. Kami saling
memberi dukungan satu sama lain untuk meraih mimpi dan berbagi. Mereka
bukan hanya teman tapi juga guru kehidupan yang luar biasa yang pernah
ada dalam perjalanan hidupku. Lewat bahasa Inggrislah teman-temanku tak
hanya berasal dari dalam negeri saja, tapi juga belahan bumi lainnya.
Hikmah
masuk di bidang yang tak kusukai lainnya juga kusadari tatkala program
sosial dan kemanusiaan dari Belanda yakni Togetthere bergabung bersama
LSM yang saya selami. Kehadiranku sebagai relawan di LSM tersebut
ternyata lumayan berguna. Bahagia sekali rasanya bisa jadi translator
bagi turis asing--menerangkan kenyataan dan keadaan anak-anak jalanan
di Yogyakarta serta menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Keberadaanku
di fakultas yang tak kusenangi juga mendatangkan hikmah finansial yakni
bertambahnya pemasukan. Mengingat bahasa Inggris adalah bahasa
internasional dan hampir di setiap lingkup ilmu pengetahuan juga
menggunakan bahasa Inggris, keadaan ini memberikan berkah tersendiri
dalam hidupku. Beberapa mahasiswa yang hendak mengerjakan tugas atau
menyusun skripsi terkadang meminta jasa terjemahan. Yaa..lumayanlah buat
menambah uang saku..hee... Beberapa mahasiswa dan anak SMA juga sempat
meminta tolong untuk diberikan les tambahan. Bahagia sekali jika mereka
mampu memahami materi yang kuajarkan. Itu menambah kepercayaan
diriku—memberikan sumbangsih tersendiri bagi psikologiku.
Sekian
ceritaku, lika-liku perjalanan hidupku, semoga bermanfaat dan berguna
bagi kalian semua yang membaca. Ketika suatu hal tak berjalan sesuai apa
yang kau ingini, terima saja, nikmati saja, semua punya maksud dan
tujuan tersendiri. Kita tak akan dibuat rugi olehnya jika ikhlas
menerima dan pandai menyikapi. Bahkan dapat dijadikan batu loncatan dan
melatih ketangguhan mental kita pribadi. Tatkala harus menjalani hal
yang tak kita ingini, saat itu mungkin kita tidak mengerti kenapa begini
kenapa begitu, tapi percayalah selalu kan ada senyum pelangi dibalik
rinai hujan dan terik mentari. Hidup cuma satu kali ini, mari hadapi,
berkarya, berbagi dan isi dengan hal-hal yang berarti. Cheers...^^
________dari wichan untuk "Waktu Gue Maba Competition" by studyinjogja.com______
Tidak ada komentar:
Posting Komentar