Orang-orang
yang saya cintai (Bapak, Mama dan adik) berada jauh di pulau seberang
sana. Di kota pelajar ini, saya hanya punya Pakdhe, Budhe dan
kakak-kakak sepupu. Kebetulan tepat 30 Juni 2013 kemarin paman saya
dipanggil Sang Empunya kehidupan. Jadi, lebaran kali ini lumayan berat
untuk dijalani karena tepat tanggal 8 Agustus lalu kami memperingati 40
hari meninggalnya orang yang kami cintai.
Sekalipun
keluarga Bapak saya bukan muslim, tapi adat-istiadat dan budaya
silaturahmi di hari yang Fitri begitu kental dan mendarah daging.
Biasanya, kami berkunjung ke rumah saudara yang kami tuakan untuk
mengucapkan salam, silaturahmi dan meminta maaf untuk tiap perkataan dan
perbuatan yang tidak menyenangkan hati/menyakiti selama satu tahun
yang telah kami lewati. Begitu pula sebaliknya, mereka warga setempat
(baik muslim maupun non-muslim) juga berkunjung untuk menyampaikan
silaturahmi dengan bahasa Jawa Krama. Suatu budaya yang patut
dipertahankan dari satu generasi ke generasi. Di kota besar, budaya ini
dikenal dengan sebutan Open House.
Jika
setiap tahun kami selalu menjalani Hari Raya penuh dengan kemenangan
dan suka cita, kali ini sedikit berbeda. Ucapan-ucapan “Sugeng Riyadi”
(artinya “Selamat Idul Fitri”) dan kata-kata “nyumun ngapuro” (artinya
“mohon maaf”) dari tetangga maupun kerabat yang berkunjung ditambahi
embel-embel “turut berduka cita”. Tak heran jika akhirnya mampu membuat
Pakde dan Budheku gagal membendung airmata.
Menjawab
pertanyaan “Bagaimana cara Anda membagi kebahagiaan dengan orang yang
Anda cintai di Hari Raya?” Saya banyak menghabiskan waktu dengan mereka.
Saya bersama kakak-kakak sepupu membantu Pakdhe dan Budhe mempersiapkan
peringatan 40 hari paman. Saya dan kakak sepupu juga yang mengolah
makanan, memotong bebek dan meracik bumbu untuk hari yang Fitri. Sebisa
mungkin saya menghibur dan menyenangkan hati mereka yang masih sedih dan
merasa kehilangan sosok paman. Ada hal lucu yang terjadi waktu itu dan
masih membekas di benak kami hingga saat ini. Jika kebanyakan orang
biasanya menyuguhkan sirup kepada tamu dengan membeli sirup jadi seperti
sirup ABC dan Marjan, kali ini kami membuat sirup sendiri berbahan
dasar gula, air, citrun dan pasta. Saat itu kami membuat sirup rasa
melon dan leci. Ketika itu, rasa leci kami suguhkan terlebih dulu.
Setiap tamu yang berkunjung ke rumah selalu kami buat takjub dan kaget
ketika meminum air yang kami suguhkan karena air yang mereka minum itu
bening tak berwana bak air putih, tapi mengandung rasa leci. Semua orang
memintar resep bahan dan cara membuatnya. Banyak pula tamu yang tertawa
oleh karya kami ini. Tak heran jika sirup buatan tangan kami ini mampu
memecah keheningan, kesedihan dan suasana kikuk sepeninggalnya paman.
Sirup bening tanpa pengawet dan pemanis buatan ini pula yang semakin
menyatukan dan mengakrabkan suasana Hari Raya Idul Fitri kala itu.
Begitulah cara saya berbagi kebahagiaan dengan orang yang saya cintai.
Melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.
^_^ saya selalu damai dan bahagia bisa berbagi.
________dari wichan untuk www.sahabatnestle.co.id________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar