Belajar
dari bencana
Tepat pada perayaan Imlek 2016 lalu, Pulau
Bangka dilanda banjir hebat setelah kejadian serupa terjadi pada tahun 1986. Tiga
puluh tahun tidak mengalami banjir, tahun ini terbilang paling parah dari
tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan alam Pulau Bangka yang kian hancur
karena pertambangan timah yang marak menggempur daratan juga perairan. Terlihat
jelas bagaimana kapal isap yang membabi-buta menjelajah kawasan perairan hingga
merusak ekosistem laut. Nelayan hanya mampu gigit jari karena hasil tangkapan berkurang
akibat dari kerusakan terumbu karang dan pencemaran air laut. Daratan pun tak
ubahnya perairan, hampir seluruh hutan di sekitar Pulau Bangka dijadikan
pertambangan timah legal dan ilegal. Jika tidak dieksploitasi untuk kawasan
pertambangan pun, hutan-hutan ditebangi dan dijadikan perkebunan sawit. Entah
berapa banyak penduduk yang tergiur uang hingga melepas tanah-tanah mereka
untuk dijadikan lokasi pertambangan dan perkebunan sawit. Tak terbilang
jumlahnya.
Layaknya roda kehidupan yang naik
turun, begitu juga nafas hidup pertambangan. Kini harga timah menurun sehingga
banyak penduduk yang beralih lagi ke pertanian lada. Sayangnya, struktur tanah
tak lagi sama. Kesuburan tanah terganggu karena lahan pertanian merupakan bekas
galian tambang sehingga tak mampu menghasilkan kualitas lada yang unggul. Sungguh
sebuah harga mahal yang harus dibayar. Entah butuh berapa tahun untuk
mengembalikan ekosistem dan alam Pulau Bangka asri seperti dulu lagi.
Semakin hari perekonomian masyarakat
Bangka pun semakin memburuk. Nampak jelas dari daya beli masyarakat yang
melemah. Dahulu, satu toko baju punya banyak karyawan yang melayani para pembeli.
Sekarang? Hanya ada satu atau dua karyawan, bahkan kerap pemilik toko itu
sendiri yang melayani pembeli. Pasar-pasar pun cenderung sepi, kalau ramai pun
karena didominasi para pegawai PNS yang mayoritas adalah pendatang. Berangkat
dari keprihatinan inilah, saya mencoba menilik potensi Bangka lainnya agar
dapat dijadikan kekuatan perekonomian dengan sentuhan inovasi infrastruktur.
Potensi
terpendam
Potensi pulau ini sebenarnya tak hanya
timah dan lada semata. Masih banyak potensi lain yang belum begitu diperhatikan
dan disentuh ranah teknologi serta infrastruktur yang memadai. Di bidang
pariwisata misalnya, Pulau Bangka dilimpahi heritage Cina dan bangunan
peninggalan kolonial Belanda. Arsitektur rumah-rumah tua Belanda di Bangka
Barat (Kota Mentok) dan makam Belanda (Kerkhof) di Pangkalpinang, Perkuburan
Sentosa yang merupakan taman makam terluas se-Asia Tenggara dan Kelenteng Kuan
Tie Miau (kelenteng tertua di Bangka) juga ada di sini. Saya bermimpi
jejak-jejak peninggalan sejarah ini dilestarikan dan dijaga lebih intensif
sehingga menjadi objek pariwisata klasik layaknya Kota Tua di Jakarta dan
Semarang. Saya berharap sekali Dinas Tata Kota dan Lingkungan Hidup juga turut
bekerjasama sehingga tempat-tempat ini tertata bersih dan rapi layaknya Red
Square di Malaka. Berikutnya yakni potensi pantai dengan hamparan pasir putih,
batu granit, serta gradasi biru lautnya. Pembangunan infrastruktur seperti
cottage dan hostel serta pengaspalan menuju kawasan-kawasan wisata pasti akan
menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat Bangka. Tentunya dengan dukungan
budaya masyarakat yang terdiri dari tradisi Melayu (Nganggung, Perang Ketupat,
Mandi Beliamau, dan Selikur) dan tradisi Tionghoa (Cheng Beng, Sembahyang Rebut
dan Peh Cun), Bangka akan menjadi daya tarik sendiri bagi turis lokal dan
mancanegara. Tak kalah menarik dari budaya dan adat Pulau Bali.
Di bidang perkebunan, perikanan dan
peternakan, Bangka Botanical Garden dapat menjadi agrowisata yang mumpuni. Terdapat
pengembangan hortikultura, penyediaan bibit, peternakan sapi, perkebunan sayur,
dan perkebunan buah naga di sini. Jika potensi ini lahan ini dikelola sedemikian
rupa serta mendapatkan sentuhan inovasi teknologi pertanian, tentunya akan
menjadi objek wisata keluarga dan lokasi belajar yang lebih menyenangkan untuk
anak-anak. Tak menutup kemungkinan Bangka Botanical Garden (BBG) kelak
akan menjadi seperti FarmHouse di Bandung,
Surpride di Lampung, atau Sabila Farm milik Pak Gun Soetopo di Yogyakarta.
Selain itu, Pulau Bangka beriklim
tropis tipe A dan dikelilingi lautan sehingga panen matahari sangatlah mudah. Begitu
juga dengan hembusan angin dan gelombang laut, cukup kencang dan kuat. Bukanlah
sesuatu yang mustahil jika kondisi ini dimanfaatkan untuk sumber energi. Matahari
dipanen dengan panel-panel surya untuk pembangkit listrik seperti yang
dilakukan I Gusti Agung Putra di Bali dan Ferdy di Pontianak. Hembusan angin
mungkin dapat digunakan sebagai penggerak turbin seperti yang dilakukan Lu Vu
Cuong (warga Vietnam) di sekitar Red River. Belajar dari Lu Vu yang tidak harus
menggunakan peralatan mahal, baskom plastik pun boleh dijadikan turbin
sederhana. Gelombang laut pulau ini juga dapat digunakan sebagai sumber energi
seperti lepas pantai Australia Selatan. Berharap ide-ide ini dapat
diimplementasikan di Pulau Bangka agar masalah mati listrik teratasi. Energi
ini tentu lebih ramah lingkungan daripada penggunakan minyak bumi yang tak
dapat diperbaharui. Diharapkan Balitbang PUPR dapat bekerjasama dengan Penggiat
Lingkungan Hidup seperti Walhi untuk mensosialisasikan terobosan ini. Satu-satunya
desa di Bangka yang sudah merasakan penggunaan panel surya yakni Desa Rebo.
Potensi lainnya yakni hasil laut dan culinery. Geografi Pulau Bangka yang dikelilingi
lautan, menjadikan pulau ini berlimpah ikan segar dengan kualitas super
sehingga makanan yang diciptakan pun identik olahan ikan seperti otak-otak,
empek-empek, getas, tekwan, dan aneka kerupuk. Cumi dan udang juga diolah
menjadi aneka snack. Bahkan oleh-oleh Bangka terkenal enak dan dicintai para
wisatawan karena punya citarasa unik. Akan lebih baik lagi jika usaha-usaha
kecil ini mendapatkan perhatian dari pemerintah sehingga mereka mampu
memproduksi dengan skala yang lebih besar guna memenuhi kebutuhan pasar,
misalnya dengan hibah atau pinjaman modal untuk membeli mesin produksi.
Itulah beberapa potensi yang terdapat
di Pulau Bangka. Tujuh tahun meninggalkan pulau ini, ternyata tak banyak
perubahan yang terjadi di sini. Perekonomian melemah dan masyarakat masih
merindukan sentuhan inovasi infrastruktur layaknya kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta. Bangka masih membutuhkan
pembangunan infrastruktur ruang publik dan ruang terbuka hijau. Akan sangat
indah dan menarik jika pesisir pantai dijadikan taman dengan lampu atau lampion,
misalnya seperti Taman Alun Kapuas di Pontianak. Air Mancur Menari seperti di Jembatan
Surabaya pun akan menjadi ikon menarik dari pulau ini. Sungguh mengagumkan jika
di masa depan pesisir pantai-pantai Pulau Bangka dapat menjadi kolam pelabuhan
bagi kapal-kapal nelayan dan ruang publik layaknya Volendam di Holland.
Ide inovasi lain yang mungkin dapat
diimplementasikan tak hanya pada Pulau Bangka tapi juga daerah-daerah lain yakni
temuan konventer kit BBM ke Gas oleh Warga Kubu Raya di Kalimantan Barat dan ATM
Sampah yang sempat diluncurkan di Bali. Prospek inovasi tersebut saya rasa
sangat menjanjikan. Pasalnya konventer berguna bagi nelayan-nelayan yang hidup
di pelosok dan perbatasan, dan ATM Sampah akan mendukung maintaining pembangunan infrastruktur. Jika Jepang mampu
membersihkan negaranya dari masalah sampah selama 10 tahun, kenapa kita tidak?
Pasti negeri ini juga bisa. Saya rasa Gerakan Relawan Trashbag Community oleh
Ragil Budi Wibowo dan Komunitas Jakarta Osoji Club oleh Tsuyoshi Ashida
merupakan langkah brilian melepaskan Indonesia dari permasalahan sampah. Akan
terasa sekali dampaknya jika gerakan ini dilakukan serentak di masing-masing
kota di Indonesia.
Hal-hal di atas hanya segelintir
ide-ide yang berangkat dari keprihatinan masalah-masalah di sekeliling saya.
Saya bukan siapa-siapa, hanya warga negara biasa yang mencoba berbuat sesuatu
untuk bangsa, khususnya tanah kelahiran saya. Semoga Balitbang PUPR dengan
segala penyokongnya mampu berbuat sesuatu untuk pulau ini. Ke depannya, saya
berharap putra-putri daerah tidak harus lari menuju ibukota untuk mengubah
nasib atau mengais rezeki yang nantinya juga akan menambah kepadatan penduduk
ibukota. Saya berharap mereka sendiri yang tergerak hatinya membangun daerah
mereka sehingga mampu meningkatkan perekonomian daerah. Untuk itu, peran
inovasi infrastruktur sangat dibutuhkan sebagai penyokong dan moda penggerak pembangunan
yang jadi titik fokus pemerintahan Presiden RI sekarang ini.
Produk-produk unggulan Balitbang PUPR
seperti komposter, tungku sanira, flood early warning system, bendung knock
down, sumur resapan, Ruang Henti Khusus (RHK), jembatan pelat orthotropik,
sindila, dan tambalan cepat mantap diharapkan juga dapat dinikmati secara
merata daerah-daerah dan pelosok negeri ini. Memang ini tak mudah, tapi kita
harus tetap optimis.
Jangan khawatir, kita tidak sendiri. Belajar
dari negara-negara tetangga. Swedia, Jepang, dan Belanda sudah terlebih dahulu
berjuang melawan sampah dan air, dan akhirnya mereka mampu menaklukkan masalah-masalah
tersebut. Sekarang, giliran kita. Mungkin kita harus belajar optimis dari kota
Hofu di Jepang. Dahulu kota ini tertinggal dan tak dipandang sama sekali. Sekarang
kota ini menjadi salah satu kota dengan perekonomian terkuat di Jepang. See? Hard work will never betray you.