Rabu, 10 Agustus 2016

Kerlip Cahaya Pulau Bangka

Belajar dari bencana
Tepat pada perayaan Imlek 2016 lalu, Pulau Bangka dilanda banjir hebat setelah kejadian serupa terjadi pada tahun 1986. Tiga puluh tahun tidak mengalami banjir, tahun ini terbilang paling parah dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan alam Pulau Bangka yang kian hancur karena pertambangan timah yang marak menggempur daratan juga perairan. Terlihat jelas bagaimana kapal isap yang membabi-buta menjelajah kawasan perairan hingga merusak ekosistem laut. Nelayan hanya mampu gigit jari karena hasil tangkapan berkurang akibat dari kerusakan terumbu karang dan pencemaran air laut. Daratan pun tak ubahnya perairan, hampir seluruh hutan di sekitar Pulau Bangka dijadikan pertambangan timah legal dan ilegal. Jika tidak dieksploitasi untuk kawasan pertambangan pun, hutan-hutan ditebangi dan dijadikan perkebunan sawit. Entah berapa banyak penduduk yang tergiur uang hingga melepas tanah-tanah mereka untuk dijadikan lokasi pertambangan dan perkebunan sawit. Tak terbilang jumlahnya.

Layaknya roda kehidupan yang naik turun, begitu juga nafas hidup pertambangan. Kini harga timah menurun sehingga banyak penduduk yang beralih lagi ke pertanian lada. Sayangnya, struktur tanah tak lagi sama. Kesuburan tanah terganggu karena lahan pertanian merupakan bekas galian tambang sehingga tak mampu menghasilkan kualitas lada yang unggul. Sungguh sebuah harga mahal yang harus dibayar. Entah butuh berapa tahun untuk mengembalikan ekosistem dan alam Pulau Bangka asri seperti dulu lagi.

Semakin hari perekonomian masyarakat Bangka pun semakin memburuk. Nampak jelas dari daya beli masyarakat yang melemah. Dahulu, satu toko baju punya banyak karyawan yang melayani para pembeli. Sekarang? Hanya ada satu atau dua karyawan, bahkan kerap pemilik toko itu sendiri yang melayani pembeli. Pasar-pasar pun cenderung sepi, kalau ramai pun karena didominasi para pegawai PNS yang mayoritas adalah pendatang. Berangkat dari keprihatinan inilah, saya mencoba menilik potensi Bangka lainnya agar dapat dijadikan kekuatan perekonomian dengan sentuhan inovasi infrastruktur.

Potensi terpendam
Potensi pulau ini sebenarnya tak hanya timah dan lada semata. Masih banyak potensi lain yang belum begitu diperhatikan dan disentuh ranah teknologi serta infrastruktur yang memadai. Di bidang pariwisata misalnya, Pulau Bangka dilimpahi heritage Cina dan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Arsitektur rumah-rumah tua Belanda di Bangka Barat (Kota Mentok) dan makam Belanda (Kerkhof) di Pangkalpinang, Perkuburan Sentosa yang merupakan taman makam terluas se-Asia Tenggara dan Kelenteng Kuan Tie Miau (kelenteng tertua di Bangka) juga ada di sini. Saya bermimpi jejak-jejak peninggalan sejarah ini dilestarikan dan dijaga lebih intensif sehingga menjadi objek pariwisata klasik layaknya Kota Tua di Jakarta dan Semarang. Saya berharap sekali Dinas Tata Kota dan Lingkungan Hidup juga turut bekerjasama sehingga tempat-tempat ini tertata bersih dan rapi layaknya Red Square di Malaka. Berikutnya yakni potensi pantai dengan hamparan pasir putih, batu granit, serta gradasi biru lautnya. Pembangunan infrastruktur seperti cottage dan hostel serta pengaspalan menuju kawasan-kawasan wisata pasti akan menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat Bangka. Tentunya dengan dukungan budaya masyarakat yang terdiri dari tradisi Melayu (Nganggung, Perang Ketupat, Mandi Beliamau, dan Selikur) dan tradisi Tionghoa (Cheng Beng, Sembahyang Rebut dan Peh Cun), Bangka akan menjadi daya tarik sendiri bagi turis lokal dan mancanegara. Tak kalah menarik dari budaya dan adat Pulau Bali.

Di bidang perkebunan, perikanan dan peternakan, Bangka Botanical Garden dapat menjadi agrowisata yang mumpuni. Terdapat pengembangan hortikultura, penyediaan bibit, peternakan sapi, perkebunan sayur, dan perkebunan buah naga di sini. Jika potensi ini lahan ini dikelola sedemikian rupa serta mendapatkan sentuhan inovasi teknologi pertanian, tentunya akan menjadi objek wisata keluarga dan lokasi belajar yang lebih menyenangkan untuk anak-anak. Tak menutup kemungkinan Bangka Botanical Garden (BBG) kelak akan  menjadi seperti FarmHouse di Bandung, Surpride di Lampung, atau Sabila Farm milik Pak Gun Soetopo di Yogyakarta.

Selain itu, Pulau Bangka beriklim tropis tipe A dan dikelilingi lautan sehingga panen matahari sangatlah mudah. Begitu juga dengan hembusan angin dan gelombang laut, cukup kencang dan kuat. Bukanlah sesuatu yang mustahil jika kondisi ini dimanfaatkan untuk sumber energi. Matahari dipanen dengan panel-panel surya untuk pembangkit listrik seperti yang dilakukan I Gusti Agung Putra di Bali dan Ferdy di Pontianak. Hembusan angin mungkin dapat digunakan sebagai penggerak turbin seperti yang dilakukan Lu Vu Cuong (warga Vietnam) di sekitar Red River. Belajar dari Lu Vu yang tidak harus menggunakan peralatan mahal, baskom plastik pun boleh dijadikan turbin sederhana. Gelombang laut pulau ini juga dapat digunakan sebagai sumber energi seperti lepas pantai Australia Selatan. Berharap ide-ide ini dapat diimplementasikan di Pulau Bangka agar masalah mati listrik teratasi. Energi ini tentu lebih ramah lingkungan daripada penggunakan minyak bumi yang tak dapat diperbaharui. Diharapkan Balitbang PUPR dapat bekerjasama dengan Penggiat Lingkungan Hidup seperti Walhi untuk mensosialisasikan terobosan ini. Satu-satunya desa di Bangka yang sudah merasakan penggunaan panel surya yakni Desa Rebo.

Potensi lainnya yakni hasil laut dan culinery. Geografi Pulau Bangka yang dikelilingi lautan, menjadikan pulau ini berlimpah ikan segar dengan kualitas super sehingga makanan yang diciptakan pun identik olahan ikan seperti otak-otak, empek-empek, getas, tekwan, dan aneka kerupuk. Cumi dan udang juga diolah menjadi aneka snack. Bahkan oleh-oleh Bangka terkenal enak dan dicintai para wisatawan karena punya citarasa unik. Akan lebih baik lagi jika usaha-usaha kecil ini mendapatkan perhatian dari pemerintah sehingga mereka mampu memproduksi dengan skala yang lebih besar guna memenuhi kebutuhan pasar, misalnya dengan hibah atau pinjaman modal untuk membeli mesin produksi.

Itulah beberapa potensi yang terdapat di Pulau Bangka. Tujuh tahun meninggalkan pulau ini, ternyata tak banyak perubahan yang terjadi di sini. Perekonomian melemah dan masyarakat masih merindukan sentuhan inovasi infrastruktur layaknya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta. Bangka masih membutuhkan pembangunan infrastruktur ruang publik dan ruang terbuka hijau. Akan sangat indah dan menarik jika pesisir pantai dijadikan taman dengan lampu atau lampion, misalnya seperti Taman Alun Kapuas di Pontianak. Air Mancur Menari seperti di Jembatan Surabaya pun akan menjadi ikon menarik dari pulau ini. Sungguh mengagumkan jika di masa depan pesisir pantai-pantai Pulau Bangka dapat menjadi kolam pelabuhan bagi kapal-kapal nelayan dan ruang publik layaknya Volendam di Holland.

Ide inovasi lain yang mungkin dapat diimplementasikan tak hanya pada Pulau Bangka tapi juga daerah-daerah lain yakni temuan konventer kit BBM ke Gas oleh Warga Kubu Raya di Kalimantan Barat dan ATM Sampah yang sempat diluncurkan di Bali. Prospek inovasi tersebut saya rasa sangat menjanjikan. Pasalnya konventer berguna bagi nelayan-nelayan yang hidup di pelosok dan perbatasan, dan ATM Sampah akan mendukung maintaining pembangunan infrastruktur. Jika Jepang mampu membersihkan negaranya dari masalah sampah selama 10 tahun, kenapa kita tidak? Pasti negeri ini juga bisa. Saya rasa Gerakan Relawan Trashbag Community oleh Ragil Budi Wibowo dan Komunitas Jakarta Osoji Club oleh Tsuyoshi Ashida merupakan langkah brilian melepaskan Indonesia dari permasalahan sampah. Akan terasa sekali dampaknya jika gerakan ini dilakukan serentak di masing-masing kota di Indonesia.

Hal-hal di atas hanya segelintir ide-ide yang berangkat dari keprihatinan masalah-masalah di sekeliling saya. Saya bukan siapa-siapa, hanya warga negara biasa yang mencoba berbuat sesuatu untuk bangsa, khususnya tanah kelahiran saya. Semoga Balitbang PUPR dengan segala penyokongnya mampu berbuat sesuatu untuk pulau ini. Ke depannya, saya berharap putra-putri daerah tidak harus lari menuju ibukota untuk mengubah nasib atau mengais rezeki yang nantinya juga akan menambah kepadatan penduduk ibukota. Saya berharap mereka sendiri yang tergerak hatinya membangun daerah mereka sehingga mampu meningkatkan perekonomian daerah. Untuk itu, peran inovasi infrastruktur sangat dibutuhkan sebagai penyokong dan moda penggerak pembangunan yang jadi titik fokus pemerintahan Presiden RI sekarang ini.
Produk-produk unggulan Balitbang PUPR seperti komposter, tungku sanira, flood early warning system, bendung knock down, sumur resapan, Ruang Henti Khusus (RHK), jembatan pelat orthotropik, sindila, dan tambalan cepat mantap diharapkan juga dapat dinikmati secara merata daerah-daerah dan pelosok negeri ini. Memang ini tak mudah, tapi kita harus tetap optimis.


Jangan khawatir, kita tidak sendiri. Belajar dari negara-negara tetangga. Swedia, Jepang, dan Belanda sudah terlebih dahulu berjuang melawan sampah dan air, dan akhirnya mereka mampu menaklukkan masalah-masalah tersebut. Sekarang, giliran kita. Mungkin kita harus belajar optimis dari kota Hofu di Jepang. Dahulu kota ini tertinggal dan tak dipandang sama sekali. Sekarang kota ini menjadi salah satu kota dengan perekonomian terkuat di Jepang. See? Hard work will never betray you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar